X Swap Protocol

The Automated market maker for xrc20 tokens .Decentralized Financial Services (DeFi)Powered by ABEYCHAIN. XSWAP is the world’s 1st DEX built on the revolutionary ABEYCHAIN The Multi-Layered…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




54. Under the Cold Night

part 54 of strawberries and cigarettes — a Jeno AU

Setelah mereka berdua selesai menyantap makanan mereka, Andira memutuskan untuk berkunjung ke salah satu toko yang menangkap perhatiannya; bahkan sebelum mereka masuk ke dalam restoran. Jarak toko itu tak begitu jauh dari kedai ramen yang barusan mereka kunjungi — hanya perlu menelusuri alleyway jejeran ruko itu, sehingga mereka berdua memutuskan untuk berjalan.

Keduanya mengisi selasar ruko-ruko dengan topik yang belum terselesaikan semenjak debat itu mulai di atas meja makan. Karena hujan yang masih deras membanjiri muka bumi, Jeziel terpaksa menundukkan kepalanya agar dapat mendengar suara Andira yang teredam. Detak jantung si gadis berubah menjadi sedikit lebih cepat karena jarak pria di sebelahnya yang sangat dekat. Mati-matian Andira memaksa jantungnya untuk kembali memompa seperti biasa, takut-takut lawannya mendengar degupannya yang malah makin cepat kala pria itu mulai menunjukkan senyum manisnya saat tertawa. With his eyes that naturally make a perfect crescent every time the corner of his mouth rises, and the way his shoulders perk up the moment he feels a giggle, or those moments where he leans back but never cuts eye contact with his subject. Has he been this attractive before? Or the things that he did made her feel that way? Those chivalrous acts on the lunch table, the way he opens doors for her, him knowing the sidewalk rule that he’s implementing right now? It all felt natural but strangely weird for her because it’s been a while since she got that treatment from anybody, let alone a guy.

She eventually shrugged it off as they walked into the door.

Bell kecil berdenting nyaring saat Jeziel mendorong pintu kaca toko itu. Melihat interior dan nama tempatnya, dapat disimpulkan bahwa tempat ini menyajikan berbagai macam makanan manis dengan menu utama froyo — frozen yogurt — dan smoothies. Meskipun udara di luar masih dingin, baik Andira maupun Jeziel tak dapat menolak makanan pencuci mulut. “Mau yang mana?” tanya Jeziel kepada perempuan yang menariknya ke sana. Ia melihat menu serta jejeran topping frozen yogurt yang terpampang rapi di tembok belakang kasir. “Froyo biasa aja deh, yang topingnya lima, gimana? Lu mau sendiri atau sharing aja?” tanya Andira balik, membuat Jeziel ikut membaca menu, lalu memutuskan, “Sharing aja deh. Kayaknya dapet banyak, tuh.” Pria itu menunjuk salah satu pelanggan yang baru saja mendapatkan pesanannya dengan dagu. “Oke, nanti gue yang bayar, ya,” final Andira sambil berjalan ke arah ujung barisan yang cukup panjang. Jeziel menghela nafas sambil tertawa kecil, sudah tahu usahanya melawan gadis di sebelahnya akan berakhir sia-sia meski dirinya ingin membayar.

Setelah beberapa menit berdiri, Jeziel sadar gadis itu terlihat gundah. Karena barisan tak kian berjalan, Jeziel menghadap ke arah Andira dan berbisik, “Duduk aja. I promise I won’t pay.” Andira, terkaget karena tiba-tiba ada suara bass halus di dekat telinganya, menoleh ke arah sumber suara, menyebabkan jarak antar mereka menjadi sangat tipis. Reflek, Ia memundurkan mukanya. “I’m fine, I can wait …” — gadis itu melihat alis Jeziel yang naik, lalu ia terdiam, menggigit bibir bawah bagian dalam — “Okay, no, I lied, gue cari tempat duduk ya. Awas aja lu bayar! I’ll be watching!” Jeziel terkeh melihat kelakuan gadis yang melangkah ke tempat duduk terdekat, mendudukkan badannya dan memijat pergelangan kakinya. Combat boots barunya membuat bagian kakinya itu tak nyaman karena bahannya yang masih kaku. Sepertinya pilihan kaus kakinya kurang tebal, pikirnya.

Sembari menunggu, keduanya asik memainkan handphone di tempat masing-masing. Sama-sama membalas pesan yang teranggur selama mereka makan karena keduanya tak menyentuh benda itu akibat terlalu terbawa arus obrolan dan makanan. Lama kelamaan, jarak antara si pria dan mesin kasir semakin dekat, sehingga dia lebih dulu menyudahi acara balas pesannya. Pada saat pria itu berada di belakang satu orang yang memesan order, ia berniat memanggil Andira yang ternyata masih asyik dengan gawai di tangannya. Pria itu mengambil handphone yang tadi ia masukkan ke kantong celana, membuka ruang chatnya dengan si gadis dan mengetik beberapa pesan di sana.

“Raa”

“Gua bayar yaaa”

Saat pesan itu berhasil terkirim, pria itu dibuat kaget dengan pemandangan Andira yang langsung mendongakkan kepalanya dengan alis yang tertaut. Ia pikir gadis itu sudah membaca pesan chatnya, tapi masih belum ada tulisan “read” di sana. Gadis itu bergegas melangkah ke arah Jeziel, menyelip di bawah tali yang menjadi garis antrian, lalu berdiri di sebelah Jeziel. “I’m not letting you pay!” cicitnya. Jeziel tersenyum dan mempersilahkan gadis itu maju selangkah di depannya. “Pesen, gih.” Andira pun melakukan apa yang dilantunkan Jeziel.

Mata sang gadis tak lepas dari pegawai yang membuatkan pesanan mereka, meski sudah beberapa kali sang pria menarik tubuhnya perlahan agar tidak menghalangi pelanggan lain. Matanya terlihat berbinar-binar, mengikuti gerak sang pegawai yang mondar-mandir, lalu mata itu terlihat membesar kala memindai topping yang ditunjukkan. “Mau topping apa, kak?” tanya sang pegawai kepada si gadis yang tak melepaskan matanya dari deretan buah-buahan, manisan, remahan, dan banyak lagi macamnya. “Strawberry, kak!” jawabnya antusias. “Tolong dibanyakin, ya,” tambah Jeziel kepada sang pegawai yang memberikan anggukan. “Sisa empatnya mau apa, kak?” Andira pun menunjuk 2 buah topping lainnya, lalu berpaling pada Jeziel. “Lu mau apa? Masa gue doang yang pilih?” Jeziel bersenandung pelan, melihat topping yang belum dipilih Andira. “Saya mau gummy bearsnya … sama satu lagi … stawberry mochi, deh,” ucapnya pada sang pegawai yang memberi senyuman. Andira menerima mangkuk kertas yang diberikan oleh sang pegawai, lalu beralih ke sebelah etalase kaca untuk mengambil dua sendok dan setumpuk tissue. Ia menancapkan para sendok di atas froyo, kemudian melapisi badan mangkuk dengan dua tissue — sisanya diambil oleh Jeziel.

“Mau makan di sini atau di studio?” Andira melahap satu suapan froyo dingin yang ditemani topping stroberi ke dalam mulutnya. Rasa segar, asam, dan manis itu merajalela indranya, membuat muka Andira bertekuk. Jeziel yang sedari tadi memperhatikan gadis itu pun tersenyum tipis, tapi dengan cepat ia palingkan mukanya ke arah pintu kaca ruko yang dibelakangi oleh Andira. Di luar kaca persegi panjang itu, masih terlihat hujan dengan frekuensi rintik yang masih sama seperti tadi. “Boleh makan?” tanya Jeziel balik. Andira, bingung, mengangkat satu alisnya. “Hah?” desahnya. “Boleh makan di sana?” Jeziel memperinci. “Ya, boleh lah! Kan gue nawarin tadiii.” Tanpa aba-aba, si gadis berjalan ke arah pintu yang ditatap Jeziel. Namun, ia tiba-tiba berhenti di tengah jalan karena baru mengingat sesuatu. Andira berbalik menghadap ke pria yang berjalan di belakangnya. “Eh, tapi, makan di mobil lu gapapa? Takutnya lengket.” Jeziel tersenyum lalu menggelengkan kepala. “I don’t mind.”

Selama perjalanan, Andira kembali menjadi DJ menggunakan handphone Jeziel. Dengan izin sang pemilik, ia membuat sebuah playlist yang diberi nama “carpool with ziel and dira” dan memasukkan lagu-lagu yang mereka gemari. Kini, Andira sudah tak sebingung awal karena telah mencuri kesempatan untuk bertanya selera musik Jeziel saat makan tadi. Alunan musik memenuhi mobil, dan keduanya bersenandung bersama lagu lama milik Shawn Mendes berjudul “Kid In Love”.

Sambil bernyanyi, keduanya fokus dengan kegiatan masing-masing; Andira dengan froyonya dan Jeziel dengan stir mobilnya. Andira melirik ke arah Jeziel yang sedikit menyipitkan mata untuk melihat jalanan di depannya. Gadis itu kemudian melihat ke arah froyo yang ia pegang. Dirinya baru sadar kalau pria di sebelahnya itu belum menyantap bahkan sesuap pun. “Jez, mau?” Andira menyodorkan mangkuk kertas itu ke arahnya. Si pengemudi hanya bisa melirik, lalu membalas, “Nanti. Pas lampu merah aja. Takut kalau lepas stir, sorry.” Si gadis menarik kembali tangan yang ia ulurkan, merasa bersalah karena hanya dirinya yang menikmati perjalanan, sedangkan pria di sebelahnya itu harus berhati-hati mengemudi agar keduanya selamat sampai tujuan.

Entah didorong oleh siapa, Andira menyendokkan froyo yang sudah mulai menggenang, mengambil dua buah gummy bear hijau di atas gumpalan putih itu. Jeziel melirik ke arah kursi penumpang karena merasa si gadis sudah diam terlalu lama. Alangkah kagetnya saat matanya menangkap sendok — dengan mangkok yang menadah — pas di depan wajahnya. “Aaaa,” bujuk Andira. He can’t help but chuckle, and receive the spoonful of sour dessert that she kindly gave him. “Enak?” Gadis itu menatap dengan mata belonya. Jeziel tersenyum dan mengangguk. “Asem,” balasnya. Si gadis beberapa kali menyuapi sendok penuh froyo itu kepada si pengemudi yang sibuk menyetir, sampai akhirnya menyerahkan seluruh mangkuknya saat tiba di lampu merah agar lawannya nyaman menyantap.

Hujan masih saja mengguyur, tapi beruntung bagi mereka, rumah kedua Andira memiliki sebuah parkiran yang ditutupi oleh badan gedung itu sendiri. Masih satu level dengan jalanan, namun lantai dasar itu dua per tiganya dipakai untuk lahan parkir (sehingga bolong di bagian kirinya, dengan pilar pilar penyanggah), dan sepertiganya menjadi ruangan lobi, lounge, dan staff room. Bisa dibayangkan seperti garasi super besar di sana.

Setelah Jeziel memarkirkan mobilnya, mereka berdua pun turun dari kendaraan dan segera menuju ke dalam lobi. Bangunan itu tak begitu besar — jika dibandingkan dengan bangunan managerial yang sebelumnya sudah Jeziel kunjungi, bangunan itu terlihat lebih lebar namun tidak begitu panjang. Fungsinya memang difokuskan sebagai gedung yang menampung studio recording, studio musik, dan ruang nongkrong para pemusik juga produser yang berada di bawah label maupun tidak. Kalau kata Andira, “Kayaknya, sih, Bu Orla udah muak ngeliat anak-anak ngendep di studio mulu, makanya bikin gedung terpisah. Tapi, kalo jawaban lebih seriusnya, sih, mau expand jadi bisa dipake orang luar label.” Begitu penjelasan yang ia berikan tempo hari ketika Jeziel bertanya alasannya berpindah lokasi.

Sebelum menaiki lift, Andira mengunjungi meja resepsionis yang dijaga oleh perempuan kisaran 29 tahun. “Mbak Mon, kunci studio dong.” Andira nyengir ke arah resepsionis, Mbak Monika — atau lebih sering dipanggil Mbak Mon. Tanpa perlu melihat, si resepsionis menaruh kunci di atas ambakan yang menutupi setengah wajahnya. “Nanti kamu yang bawa, Dir?” Setelah selesai menunduk, sepertinya habis menulis, ia akhirnya mendongak untuk melihat muka Andira dan teman yang dibawanya. Mbak Monika, melihat muka tak familiar itu, menautkan alisnya. “Temen, Mbak,” jelas Andira ketika Mbak Monika melirik-lirik ke arah Jeziel yang memberikan senyum singkat sebelum lanjut menikmati interior lantai satu. Mbak Monika segera mengibaskan tangannya, mengisyaratkan lawan bicaranya untuk mendekat. “Pacarmu gak?” bisiknya. “’Napa? Mbak Mon naksir?” Andira cekikikan menanggapi ucapan Mbak Monika. “Ish, gak gitu. Cakep itu, Dir, pepet lah. Tapi aku kok kayak pernah liat, yo?” lanjut Mbak Monika, masih berbisik. “Kemaren bantu aku pindahan, Mbak.” Penjelasan itu langsung dibalas dengan tepukan di pundak. “Aku tuh udah lama gak liat kamu sama cowo, loh. Itu udah baik, mana cakep, aku sih yes.” Gurauan itu berhasil membuat Andira tertawa dan menoyor lengan Mbak Monika yang masih mencengkram pundaknya. “Mbak! Kejauhan mikirnya! Udah, ah, aku mau ke atas aja daripada ghibah,” ucap Andira sambil menggenggam kunci yang belum ia ambil sejak si resepsionis menaruhnya. Si gadis pun memanggil Jeziel dan berpamitan pada Mbak Monika yang memainkan alis dan tersenyum penuh arti untuk Andira.

Setelah tegur sapa singkat itu, kedua sejoli pun naik ke lantai 2 dari 3 lantai yang ada; 4 kalau kamu mau menghitung rooftop. Mereka menelusuri koridor dengan berbagai ruangan yang dilabeli pada tiap pintunya, sampai pada pintu bertulisan “Studio 3”. Andira membuka ruangan studio itu. Terlihat berbagai alat musik dan peralatan lainnya di dalam ruangan kedap suara. Banyak case gitar, pedal yang berceceran, kabel yang meliuk, dan kertas-kertas entah bertulisan apa. Dapat disimpulkan kalau penghuni studio ini terlalu rajin mengunjungi, sehingga sudah kelewat malas untuk merapikan jejak-jejak karya mereka. Andira menyalakan pendingin ruangan dan mengambil salah satu gitar elektrik yang dipajang di guitar holder pada salah satu ujung ruangan itu. Gadis itu sibuk mengambil kabel, mencolokkan gitar andalannya — Si Fender American Professional Stratocaster Candy Apple Red — pada amplifier, dan mencari posisi nyaman untuk duduk di atas karpet yang menutupi lantai kayu. Ia pun memanggil Jeziel yang sedang melihat-lihat bass milik Sonnie dan mengajaknya ikut duduk. Ia melantunkan satu dua lagu sambil bernyanyi bersama, tertawa ketika jari Andira terselip, dan bergantian memainkan gitar. Andira memberikan gitar akustik miliknya pada Jeziel, karena pria itu lebih nyaman memainkannya. “Nih, gue main. Jadi, jangan marah lagi,” ucap Jeziel, mereferensikan percakapan mereka beberapa minggu lalu. “Siapa, coba, yang marah?” Andira berlagak tak bersalah. He chuckled it off, God knows how much he laughs because of her. Jari Jeziel dengan lihai memetik senar dan dirinya pun mulai memainkan salah satu lagu yang sering dirinya putar; Regents Park karya Bruno Major.

“I must have sent four hundred poems on the way you used to smile at me,
“I used to write them for you daily but my thumbs are running dry lately.”
“No one wants to hear a song about the bitch that broke my heart,
“I should’ve listened to my mama, she saw through you from the start.”

Andira ikut berharmonisasi pada bagian chorus,

“But now we’re here in Regent’s Park amongst the flowers and I wish it would rain,
“’Cause in the sun, you look so lovely that I’m falling for you over again.”
“Since I have nothing left to say that will make you change your mind,
“I’ll say goodbye on a beautiful spring day.”

Keduanya pun menghabiskan sore yang tinggal sedikit itu dengan petikan gitar dan musik yang mengalun.

Waktu sudah menunjukkan pukul 21.30, tapi tak ada tanda ingin pulang dari keduanya. Andira mengambil gawai yang tadi ia letakkan asal, dan mengabari kakaknya kalau ia akan pulang larut. “Mau makan apa, gak?” tanya Andira sambil berdiri, meregangkan kaki yang kesemutan. “Ada apa emangnya?” Jeziel malah balik bertanya. “Gak tau deh di lounge ada apa. Tapi di seberang ada Indiemaret sih.” Jeziel ikut berdiri, memukul-mukul kakinya yang pegal. “Jalan, yuk?” Andira mengangguk setuju.

Saat mereka keluar dari ruangan, dua bola bulu menghampiri kaki Andira. “Kok kamu di sini, sayang?” Gadis itu berjongkok, mengelus kucing yang ada di hadapannya. “Oh, kalian mau makan, ya?” Andira berucap pada Puba — kucing berbulu oranye, dan Niko — kucing berbulu abu-abu dengan corak garis garis hitam. Ia melirik ke arah Jeziel yang ikutan berjongkok untuk melihat gumpalan bulu itu lebih jelas lagi. “Ah, the star of the studio,” sapanya sambil memberikan tangannya kepada Puba untuk diendus. Kucing itu langsung mendusal kepalanya ke tangan Jeziel yang dengan gembira ia turuti kemauannya untuk dielus. “Bentar, ya, bawa mereka ke lantai tiga dulu.” Andira menggendong Niko dan berniat melakukan yang sama sebelum kesempatannya direbut oleh Puba yang terlebih dulu meletakkan tangannya pada lengan Jeziel. Pria itu pun tertawa dan mengangkat si kucing untuk dibawa bersamanya. “You’re like a cat whisperer, you know,” ucap Andira saat menaiki anak tangga. Pasalnya, Puba tak begitu ramah pada semua orang, bahkan pada staff dan orang studio yang nyaris setiap hari ke gedung itu. Melihat Puba yang anteng di tangan Jeziel tentu membuat Andira terkejut, lega, dan senang. “I have my ways,” balas Jeziel sambil mengangkat bahu.

Mereka berdua meletakkan para kucing di lounge room, dekat cat tower yang dibangun untuk mereka berdua. Andira mengecek tempat makan mereka yang ternyata sudah kosong. Sepertinya kedua kucing itu hanya ingin berjalan-jalan. Sesudah memastikan keadaan kucing itu nyaman, mereka berdua akhirnya menuju tempat yang seharusnya menjadi destinasi utama mereka.

“Hatchoo!”

Entah sudah berapa kali Jeziel bersin semenjak meniggalkan studio. Mereka sedang berada di minimarket yang ada di seberang bangunan itu, tapi alih-alih mencari hal yang ingin dimakan, Andira malah khawatir dengan keadaan Jeziel yang tak berhenti bersin. “Lu gapapa?” tanyanya. Jeziel mengangguk, berusaha meyakinkan Andira kalau dirinya sudah terbiasa. “Gara-gara gerimis, ya? Tapi ga bisa dibilang gerimis juga sih,” lanjut Andira berspekulasi, mengingat mereka menerobos gerimis. Ia memperhatikan jalanan yang masih basah tapi sudah tak lagi diciprati air dengan raut muka cemas. “Hahaha, nggak, Dir, karena kucing,” Jeziel menjelaskan sebelum bersin sekali lagi. “Apa? Alergi? Eh, tapi bukannya lu punya kucing?” Jeziel mengangguk, membuat Andira membelalakkan matanya. “GILA LU!” Pria itu terkekeh melihat reaksi Andira yang mengoceh padanya soal alerginya. “I like cats, dan waktu itu ketemu Jojo yang sekarat, so I decided to care for him. Tadinya mau dikasih ke shelter but we grew fond of him.” Jeziel mengambil sebungkus keripik kentang di hadapannya. “My allergies got better too. Karena kucing baru aja makanya act up. Sempet deket sama muka juga.” Andira mendengar cerita Jeziel sambil mengambil 2 botol minuman dingin, memperhatikannya dengan seksama dan bertanya satu dua hal sembari memilih makanan ringan lain.

Saat mereka sampai di kasir, Andira memperhatikan rak yang memajang beberapa makanan manis seperti permen dan coklat. Ia mengambil 2 buah permen kesukaannya dan menaruhnya di atas meja untuk di scan. Jeziel tertawa melihatnya. “Yang di kantong gak cukup?” tanyanya jahil. “Yang ini udah abis! Jadi beli sementara dulu buat hari ini,” bela Andira sambil melambai-lambaikan permen itu di hadapan Jeziel. Pria itu tertawa, mengambil kantong plastik berisi belanjaan mereka dan mulai melangkah keluar.

Ditengah berjalan ke studio, Jeziel melihat si gadis yang kesusahan membuka bungkus permen loli yag barusan ia beli. Setelah membiarkannya untuk beberapa waktu, ia memutuskan untuk mengambil alih si permen dari tangan si gadis. “I guess the baby needs her sugar lolly, huh?” celetuk Jeziel sambil membukakan bungkus permen sementara Andira mengantongi permen kedua di saku jaketnya. Mendengar candaan itu, si gadis menyikut lengan Jeziel lalu menyambar permen yang disodorkan Jeziel sambil menggerutukan terima kasih kecil. Ia menyumpalkan permen itu ke dalam mulutnya yang membuat si pria tertawa. “Lucu.”

The moment they arrived at the studio, they continued their night chatting with endless topics and the two cats who had been waiting for them (of course Jeziel had to wheedle his way so Worrywart Andira is 100% sure he’s okay despite the allergy). They made the cold night feel warm, as if there’s a fireplace on the rooftop they were sitting at.

(@/hookedonhouses on Pinterest)

Add a comment

Related posts:

5 Valuable Life Lessons I Learned from The Dutch

I was that child who grew up with an atlas. My atlas was the key to my happiness, my gateway to faraway lands, for I loved to travel. As a child, I didn’t really get a lot of opportunities to travel…

10 popular and heavenly food in Dubai

10 popular and heavenly food in Dubai Could it be said that you are prepared for a virtual food visit? Look as far as possible for 10 popular Dubai dishes you should Healthy meal plan appreciate on…

Top Python Flask Developer in San Mateo

Python was basically designed for easier read and write ability of a code whose syntax could be written in basic English language. Python technology could be used in various industries ranging from…